Rabu, 07 Desember 2011

Agar Tragedi GBK Tidak Terulang


 Satu nyawa melayang sudah terlalu banyak, apalagi dua. Tak bisa dibantah, apa yang terjadi di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senin (21/11/2011) malam, adalah tragedi.

Reno Alpino dan Aprilianto Eko adalah dua penonton nahas yang meregang nyawa akibat terinjak-injak ketika menonton pertandingan final sepak bola SEA Games XXVI antara Indonesia dan Malaysia. Selain mereka, ratusan penonton lain juga mengalami luka-luka akibat berdesak-desakan dalam stadion — yang diisi melebihi kapasitas.

Tidak sulit melihat akar masalah dari tragedi tersebut. Peristiwa itu adalah resultan dari sejumlah kelemahan; dari infrastruktur yang kuno, ketidaksiapan aparat dan panitia penyelenggara hingga praktik haram patgulipat petugas.

Seperti diketahui, usia Gelora Bung Karno sudah melewati angka setengah abad. Ya, stadion berkapasitas 80 ribu orang ini dibangun tahun 1960 sebagai persiapan Indonesia menggelar Asian Games 1962.

Walaupun megah dan diakui sebagai salah satu stadion terbesar di Asia (bahkan dunia), namun stadion ini sangat ketinggalan segi infrastruktur. Stadion ini tidak bisa menyamai standar yang dimiliki oleh stadion-stadion modern yang bertujuan memaksimalkan keamanan dan kenyamanan bagi para penonton.

Beberapa kelemahan antara lain adalah pintu masuk tribun yang sempit, hingga keberadaan pagar pembatas yang memisahkan tribun penonton dengan lintasan lari dan lapangan sepak bolanya.

Pintu masuk tribun yang sempit akan menyulitkan penonton keluar-masuk tribun dan akan menjadi masalah saat evakuasi, misalnya saat terjadi kebakaran, gempa atau kerusuhan. Sementara, keberadaan pagar juga berpotensi membuat sebagian penonton tergencet oleh para penonton lain di belakangnya.

Pagar sebagai pencegah penonton masuk ke lapangan sudah tidak populer karena sebenarnya pencegahan untuk itu bisa dilakukan dengan memperbanyak penjaga atau polisi di depan tribun. Hal ini bisa dilihat di Inggris, yang pernah terkenal dengan kebrutalan suporternya. Di sana, stadion modern sudah tidak pakai pagar pembatas lagi.

Kelemahan kedua adalah ketidaksiapan aparat dan panitia penyelenggara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa penyelenggara pertandingan masih sangat kuno dalam hal pertiketan. Mulai dari penjualan tiket yang terpusat (hanya di sekitar GBK saja) hingga ke cara pemeriksaan tiket yang masih manual. Panitia tidak memiliki alat pemindai tiket yang bisa mempercepat proses masuknya penonton sekaligus mencegah pemegang tiket palsu masuk tribun.

Andai saja peralatan seperti itu ada, maka kemungkinan jumlah penonton melebihi kapasitas stadion bisa dicegah dan tidak perlu sampai ada yang terinjak-injak.

Faktor lain yang tidak kalah besar menyumbang kepada tragedi di GBK adalah perilaku korupsi petugas yang seharusnya menjaga pertandingan. Sudah banyak saksi yang melihat adanya petugas yang memasukkan orang-orang tidak bertiket ke dalam stadion dengan imbalan uang. Hal ini memperparah keadaan sehingga lagi-lagi jumlah penonton melebihi kapasitas.

Tentu saja, kita tidak ingin tragedi tersebut terulang, apalagi bila memakan korban lebih banyak seperti yang terjadi di Stadion Heysel, Belgia, tahun 1985 (menewaskan 39 orang dan mencederai 600 lainnya), atau tragedi Stadion Hillsborough, Inggris, tahun 1989 (menewaskan 96 orang dan melukai 766 lainnya). Karena itulah, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pertandingan di masa depan.

Yang pertama, sudah saatnya pemerintah membangun stadion yang lebih representatif ketimbang GBK. Sebuah stadion yang memenuhi syarat-syarat arena sepak bola modern yang aman, nyaman, serta memudahkan evakuasi penonton bila diperlukan.

Berikutnya adalah pembenahan dalam manajemen pertandingan. Lakukan penjualan tiket secara tersebar di banyak tempat sehingga tidak ada konsentrasi massa di satu titik yang berpotensi memicu kericuhan. Selain itu, gunakan teknologi modern untuk menandai tiket asli yang tidak mudah dipalsukan, lalu gunakan alat pemindai saat memeriksa pemegang tiket yang akan masuk.

Yang tidak kalah penting adalah menertibkan oknum aparat yang gemar kongkalikong untuk memasukkan orang-orang tanpa tiket ke dalam stadion. Beri sanksi tegas bila masih ada yang melakukannya.

Apa yang terjadi di GBK pada Senin malam adalah alarm yang jelas bahwa banyak hal harus dibenahi. Jangan menunggu sampai jatuh korban berikutnya baru kemudian kita bertindak.

Related Posts

Agar Tragedi GBK Tidak Terulang
4/ 5
Oleh